ASAL-USUL DESA LUKU: WARISAN PUE MPORANDU DAN BUNGA SIMBAR DI BOYA LUKU




Desa Luku, yang kini menjadi bagian dari wilayah administratif Kecamatan Dolo Barat, Kabupaten Sigi, menyimpan sejarah panjang yang tidak hanya tercatat dalam jejak pembangunan, tetapi juga dalam ingatan kolektif masyarakat adat. Salah satu bagian penting dari sejarah asal-usul Desa Luku adalah kisah tentang seorang leluhur sakti bernama Pue Mporandu, dan warisan alam yang disebut bunga simbar atau bunga berdoa, dalam bahasa Kaili Luku.


1. Pue Mporandu dan Wilayah Bulunti

Menurut penuturan para tetua adat, Pue Mporandu berasal dari Bulunti, suatu kawasan sakral yang terbentang dari Gunung Balamoa hingga Wisolo. Bulunti diyakini sebagai wilayah leluhur yang menjadi pusat kekuatan spiritual dan pengetahuan tradisional masyarakat Kaili. Pue Mporandu dikenal sebagai figur penting dalam sejarah pembukaan wilayah yang kini menjadi Desa Luku.


Ia adalah tokoh bijak dan berilmu, memiliki hubungan yang erat dengan alam, serta dipercaya sebagai penjaga keseimbangan antara manusia dan kekuatan gaib yang melingkupi semesta. Dalam suatu masa yang belum tercatat oleh penanggalan modern, Pue Mporandu melakukan perjalanan menuju wilayah Utara dari Bulunti. Ia tiba di suatu tempat tinggi yang kemudian dikenal sebagai Boya Luku.


2. Nantalu: Membuka Kebun di Boya Luku

Setibanya di Boya Luku, Pue Mporandu melakukan nantalu, yaitu membuka lahan untuk kehidupan. Namun, berbeda dari praktik eksploitasi lahan, pembukaan kebun yang dilakukan Pue Mporandu didasari oleh nilai kesucian dan kearifan lokal. Ia menebang pohon seperlunya, menjaga sempadan hutan, dan memperhatikan tanda-tanda alam dalam setiap pengambilan keputusan.


Wilayah Boya Luku yang sebelumnya liar dan belum tersentuh manusia perlahan menjadi tempat kehidupan yang harmonis antara manusia dan alam. Di sanalah cikal bakal Desa Luku mulai tumbuh.



3. Simbar: Bunga Berdoa dari Boya Luku

Salah satu keunikan dari wilayah yang dibuka oleh Pue Mporandu adalah tumbuhnya bunga-bunga langka yang tidak ditemukan di tempat lain. Bunga tersebut dikenal oleh masyarakat setempat sebagai "simbar", atau bunga berdoa dalam bahasa Kaili Luku. Bunga ini memiliki ciri khas: berwarna ungu lembut keperakan, mekar di pagi hari, dan menguncup saat matahari terbenam. Aromanya lembut, menyerupai harum dupa, dan dianggap sebagai media penghubung antara doa manusia dan langit.


Masyarakat meyakini bahwa simbar hanya tumbuh di lahan yang dibuka dengan hati yang tulus dan niat yang bersih. Oleh karena itu, keberadaan bunga simbar menjadi simbol penting dari kesucian dan ketulusan Pue Mporandu dalam membuka wilayah Boya Luku. Bahkan hingga kini, masih diyakini bahwa siapa pun yang berdoa di dekat bunga simbar dengan hati yang jernih, doanya akan dijawab oleh Yang Maha Kuasa.


4. Warisan Budaya dan Kearifan Lokal

Kisah Pue Mporandu dan bunga simbar bukan hanya menjadi legenda, tetapi telah menjadi bagian dari identitas budaya masyarakat Desa Luku. Nilai-nilai penghormatan terhadap alam, kesederhanaan dalam hidup, serta pentingnya menjaga keharmonisan antara manusia dan lingkungan diwariskan dari generasi ke generasi.


Sebagian masyarakat adat masih mempraktikkan ritus sederhana di Boya Luku, terutama saat musim tanam atau panen, dengan mengunjungi lokasi yang dipercaya sebagai tempat pertama kali bunga simbar tumbuh. Di sana, mereka mengucapkan doa-doa sebagai bentuk syukur dan permohonan perlindungan.


5. Refleksi Historis

Kisah ini, meskipun belum tercatat dalam dokumen kolonial atau peta-peta lama, hidup dalam ingatan kolektif masyarakat dan menjadi sumber narasi sejarah yang penting bagi Desa Luku. Dalam pendekatan sejarah lokal, kisah seperti ini bukan sekadar cerita rakyat, melainkan refleksi dari sistem nilai dan cara pandang leluhur terhadap kehidupan dan tanah yang mereka tempati.


Oleh sebab itu, asal-usul Desa Luku tidak bisa dipisahkan dari peran Pue Mporandu dan bunga simbar di Boya Luku. Keduanya adalah fondasi spiritual dan ekologis dari terbentuknya desa ini menjadi warisan yang perlu dijaga, dihargai, dan terus diceritakan kepada generasi mendatang.


Catatan:

Penulisan sejarah ini berdasarkan wawancara lisan dengan tokoh adat dan warga lanjut usia di Desa Luku, serta interpretasi terhadap simbol-simbol budaya yang masih hidup hingga kini. Untuk menjaga akurasi dan keaslian cerita, naskah ini turut melibatkan penutur asli bahasa Kaili dan pemerhati budaya lokal. SAD

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Silaturahmi Dewan Adat Kabupaten Sigi dengan Bupati dan Wakil Bupati Terpilih Bahas Penguatan Struktur Adat

Makna Logo Dewan Adat Kabupaten Sigi

Arti lambang Koperasi Desa Merah Putih Luku